Senin, 14 November 2011

Sifilis

A.Definisi
Sifilis adalah penyakit menular seksual yang disebabkan oleh Treponema pallidum. Penyakit menular seksual adalah penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit ini sangat kronik, bersifat sistemik dan menyerang hampir semua alat tubuh.
B.Etiologi
Penyebab penyakit ini adalah Treponema pallidum yang termasuk ordo spirochaetales, familia spirochaetaceae, dan genus treponema. Bentuk spiral, panjang antara 6 – 15 µm, lebar 0,15 µm. Gerakan rotasi dan maju seperti gerakan membuka botol. Berkembang biak secara pembelahan melintang, pembelahan terjadi setiap 30 jam pada stadium aktif.

C.Patofisiologi
1. Stadium Dini
Pada sifilis yang didapat, Treponema pallidum masuk ke dalam kulit melalui mikrolesi atau selaput lendir, biasanya melalui senggama. Kuman tersebut berkembang biak, jaringan bereaksi dengan membentuk infiltrat yang terdiri atas sel-sel limfosit dan sel-sel plasma, terutama di perivaskuler, pembuluh-pembuluh darah kecil berproliferasi dikelilingi oleh Treponema pallidum dan sel-sel radang. Enarteritis pembuluh darah kecil menyebabkan perubahan hipertrofi endotelium yang menimbulkan obliterasi lumen (enarteritis obliterans). Pada pemeriksaan klinis tampak sebagai S I. Sebelum S I terlihat, kuman telah mencapai kelenjar getah bening regional secara limfogen dan berkembang biak, terjadi penjalaran hematogen yang menyebar ke seluruh jaringan tubuh. Multiplikasi diikuti oleh reaksi jaringan sebagai S II yang terjadi 6-8 minggu setelah S I. S I akan sembuh perlahan-lahan karena kuman di tempat tersebut berkurang jumlahnya. Terbentuklah fibroblas-fibroblas dan akhirnya sembuh berupa sikatrik. S II juga mengalami regresi perlahan-lahan lalu menghilang. Timbul stadium laten. Jika infeksi T.pallidum gagal diatasi oleh proses imunitas tubuh, kuman akan berkembang biak lagi dan menimbulkan lesi rekuren. Lesi dapat timbul berulang-ulang.
2. Stadium Lanjut
Stadium laten berlangsung bertahun-tahun karena treponema dalam keadaan dorman. Treponema mencapai sistem kardiovaskuler dan sistem saraf pada waktu dini, tetapi kerusakan perlahan-lahan sehingga memerlukan waktu bertahun-tahun untuk menimbulkan gejala klinis. Kira-kira dua pertiga kasus dengan stadium laten tidak memberi gejala.
D. Gambaran klinis
Sifilis Primer ( S I )
Sifilis primer biasanya ditandai oleh tukak tungga (disebut chancre ), tetapi bisa juga terdapat tukak lebih dari satu. Tukak dapat terjadi di mana saja di daerah genetalia externa, 3 minggu setelah kontak. Lesi awal biasanya berupa papul yang mengalami erosi, teraba keras karena terdapat indurasi. Permukaan dapat tertutup krusta dan terjadi ulserasi. Ukurannya berfariasi dari beberapa mm sampai dengan 1-2cm  bagian yang mengelilingi lesi meniggi dan keras. Bila tidak disertai infeksi bakteri lain maka akan berbentuk khas dan hamper tidak ada rasa nyeri. Kelainan tersebut di namakan efek primer. Pada pria tempat yang sering dikenai ialah sulkus koronarius, sedangkan pada wanita di labia minor dan mayor. Selain itu juga dapat di externa genital, misalnya di lidah, tonsil, dan anus. Pada pria selalu disertai pembesaran kelenjar limfe inguinal medial unilateral/bilateral.
Seminggu setelah efek primer, biasa terdapat pembesaran kelenjar getah bening regional di ingunalis medialis. Keseluruhannya di sebut kompleks primer. Kelenjar tersebut solitary, indolen, tidak lunak, besarnya biasanya lentikular, tidak suporatif, dan tidak terdapat periadenitis. Kulit diatas tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut.





Lesi sifilis primer
afek primer tesebut sembuh sendiri antara 3- 10 minggu. Istilah symphilis d’emblee dipakai, jika tidak terdapat afek primer. Kuman masuk ke jaringan yang lebih dalam, misalnya pada transfuse darah atau suntikan.
Sifilis sekunder ( S II )
 Biasanya S II timbul setelah 6-8 minggu sejak S I dan sejumlah sepertiga kasus masih disetai S I. lama SII dapat sampai 9 bulan. Berbeda dengan SI yang tanpa disertai gejala konstitusi, pada SII dapat disertai gejala tersebut yang terjadi sebelum atau selama SII. Gejala umumnya tidak berat, berupa anaroksia turunnya berat badan malese, nyeri kepala, demam yang tidak tinggi, dan altralgia.
Manifestasi klinis sifilis sekunder dapat berupa berbagai ruam pada kulit, selaput lender, dan organ tubuh. Dapat disertai demam, malaise. Juga adanya kelainan kulit dan selaput lender dapat diduga sifilis sekunder, bila ternyata pemerikasaan serologis reaktif lesi kulit biasanya simetris, dapat berupa macula, papul, folikulitis, papulaskuomosa, dan pustu. Jarang dijumpai keluhan gatal. Lesi vesikobulosa dapat ditemukan pada sifilis konggingital.
Kelainan kulit dapat menyerupai berbagai penyakit kulit sehingga disebut the great imitator. Selain member kelainan pada kulit, SII dapat juga member kelainan pada mukosa, kelenjar getah bening, mata, hepar, tulang dan saraf. Gejala lainnya adalah merasa tidak enak badan ( malaise ) kehilangan nafsu makan , mual, lelah, demam, dan anemia.






http://htmlimg3.scribdassets.com/99kwvue5ogkkjbz/images/8-a9179ca3a7/000.jpg








Sifilis sekunder di daerah sekitar mulut dan genital
Pada S II yang masih dini sering terjadi kerontokan rambut, umumnya bersifat difus dan tidak khas, disebut alopecia difusa. Pada S II yang lanjut dapat terjadi kerontokan setempatsetempat, tampak sebagai bercak yang ditumbuhi oleh rambut yang tipis, jadi tidak botak seluruhnya, seolah-olah seperti digigit ngengat dan disebut alopesia areolaris. Gejala dan tanda sifilis sekunder dapat hilang tanpa pengobatan, tetapi bila  tidak diobati, infeksi akan berkembang menjadi sifilis laten atau sifilis stadium lanjut.
Sifilis laten
Sifilis laten merupakan stadium sifilis tanpa gejala klinis, akan tetapi pemeriksaan serologis reaktif. Dalam perjalanan penyakit sifilis selalu melalui tingkat laten, selama bertahun-tahun atau seumur hidup. Akan tetapi bukan berarti penyakit akan berhenti pada tingkat ini, sebab dapat berjalan menjadi sifilis lanjut, berbentuk gumma, kelainan susunan syaraf pusat dan kardiovaskuler. Tes serologik darah positif, sedangkan tes likuor serebrospinalis negatif. Tes yang dianjurkan ialah VDRL dan TPHA.
Fase ini bisa berlangsung bertahun-tahun atau berpuluh-puluh tahun atau bahkan sepanjang hidup penderita. Pada awal fase laten kadang luka yang infeksius kembali muncul .
Sifilis lanjut
Perbedaan karakteristik sifilis dini dan sifilis lanjut ialah sebagai berikut:
1.      Pada sifilis dini bersifat infeksius, pada sifilis lanjut tidak, kecuali kemungkinan pada wanita hamil.
2.      Pada sifilis dini hasil pemeriksaan lapangan gelap ditemukanTpallidum, pada
sifilis lanjut tidak ditemukan.
3.      Pada sifilis dini infeksi ulang dapat terjadi walau telah diberi pengobatan yang cukup, sedangkan pada sifilis lanjut sangat jarang.
4.      Pada sifilis dini tidak bersifat destruktif, sedangkan pda sifilis lanjut destruktif
5.      Pada sifilis dini hasil tes serologis selalu reaktif dengan titer tinggi, setelah diberi
pengobatan yang adekuat akan berubah menjadi non reaktif atau titer rendah, sedangkan pada sifilis lanjut umumnya reaktif, selalu dengan titer rendah dan sedikit atau hampir tidak ada perubahan setelah diberi pengobatan. Titer yang tinggi pada sifilis lanjut dijumpai pada gumma dan paresis.

Sifilis laten lanjut
Biasanya tidak menular, diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan tes serologik. Lama masa laten beberapa tahun hingga bertahun-tahun, bahkan dapat seumur hidup. Likuor serebrospinalis hendaknya diperiksa untuk menyingkirkan neurosifilis asimtomatik. Demikian pula sinar-X aorta untuk melihat, apakah ada aorititis.
Sifilis tersier (S III)
Lesi pertama umumnya terlihat antara tiga sampai sepuluh tahun setelah S I. Kelainan yang khas ialah guma, yakni infiltrat sirkumskrip, kronis, biasanya melunak, dan destruktif. Besar guma bervariasi dari lentikular sampai sebesar telur ayam. Kulit di atasnya mula-mula tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut dan dapat digerakkan. Setelah beber pa bulan mulai melunak, biasanya mulai dari tengah, tanda-tanda radang mulai tampak, kulit menjadi eritematosa dan livid serta melekat terhadap guma tersebut. Kemudian terjadi perforasi dan keluarlah cairan seropurulen, kadang-kadang sanguinolen; pada beberapa kasus disertai jaringan nekrotik.
Tempat perforasi akan meluas menjadi ulkus, bentuknya lonjong/bulat, dindingnya curam, seolah-olah kulit tersebut terdorong ke luar. Beberapa ulkus berkonfluensi sehingga membentuk pinggiryang polisiklik. Jikatelah menjadi ulkus, maka infiltrat yang terdapat di bawahnya yang semula sebagai benjolan menjadi datar. Tanpa pengobatan guma tersebut akan bertahan beberapa bulan hingga beberapa tahun. Biasanya guma solitar, tetapi dapat pula multipel, umumnya asimetrik. Gejala umum biasanya tidak terdapat, tetapi jika guma multipel dan perlunakannya cepat, dapat disertai demam.
Selain guma, kelainan yang lain pada S III ialah nodus. Mula- mula di kutan kemudian ke epidermis, pertumbuhannya lambat yakni beberapa minggu/bulan dan umumnya meninggalkan sikatriks yang hipotrofi. Nodus tersebut dalam perkembangannya mirip guma, mengalami nekrosis di tengah dan membentuk ulkus. Dapat pula tanpa nekrosis dan menjadi sklerotik. Perbedaannya dengan guma, nodus lebih superfisial dan lebih kecil (miliar hingga lentikular), lebih banyak, mempunyai kecenderungan untuk bergerombol atau berkonfluensi; selain itu tersebar (diseminata). Warnanya merah kecoklatan.
Nodus-nodus yang berkonfluensi dapat tumbuh terns secara serpiginosa. Bagian yang belum sembuh dapat tertutup skuama seperti lilin dan disebut psoriasiformis. Kelenjar getah bening regional tidak membesar. Kelainan yang jarang ialah yang disebut nodositas juxta articularis berupa nodus-nodus subkutan yang fibrotik, tidak melunak, indolen, biasanya pada sendi besar.
S III pada mukosa
Guma jugs ditemukan di selaput lendir, dapat setempat atau menyebar. Yang setempat biasanya pada mulut dan tenggorok atau septum nasi. Seperti biasanya akan melunak dan membentuk ulkus, bersifat destruktif jadi dapat merusak tulang rawan septum nasi atau palatum mole hingga terjadi perforasi. Pada lidah yang tersering ialah guma yang nyeri dengan fisur-fisur tidak teratur serta leukoplakia.
S III pada tulang
Paling sering menyerang tibia, tengkorak, bahu, femur, fibula, dan humerus. Gejala nyeri, biasanya pada malam had. Terdapat dua bentuk, yakni periostitis gumatosa dan osteitis gumatosa, kedua-duanya dapat didiagnosis dengan sinar-X.
S III pada alat dalam
Hepar merupakan organ intra abdominal yang paling sering diserang. Guma bersifat multipel, jika sembuh terjadi fibrosis, hingga hepar mengalami retraksi, membentuk lobus-lobus tidak teratur yang disebut hepar lobatum.  Esofagus dan lambung dapat pula dikenai, meskipun jarang. Guma dapat menyebabkan fibrosis. Pada paru juga jarang, guma solitar dapat terjadi di dalam atau di luar bronkus; jika sembuh terjadi fibrosis dan menyebabkan bronkiektasi. Guma dapat menyerang ginjal, vesika urinaria, dan prostat, meskipun jarang. S III pada ovarium jarang, pada testis kadang-kadang berupa guma atau fibrosis interstisial, tidak nyeri, permukaannya rata dan unilateral. Kadang-kadang memecah ke bagian anterior skrotum.
Sifilis kardiovaskuler
Sifilis kardiovaskular bermanifestasi pada S III, dengan masa laten 15-30 tahun. Umumnya mengenai usia 40-50 tahun. Insidens pada pria lebih banyak tiga kali daripada wanita.Biasanya disebabkan karena nekrosis aorta yang berlanjut ke arch katup. Tanda-tanda sifilis kardiovaskuler adalah insufisiensi aorta atau aneurisms, berbentuk kantong pada aorta torakal. Bila komplikasi ini telah lanjut, akan sangat mudah dikenal. Secara teliti harus diperiksa kemungkinan adanya hipertensi, arteriosklerosis, penyakit jantung rematik sebelumnya. Aneurisms aorta torakales merupakan tanda sifilis kardiovaskuler. Bila ada insufisiensi aorta tanpa kelainan katup pada seseorang yang setengah umur disertai pemeriksaan serologis darah reaktif, pada tahap pertama hares diduga sifilis kardiovaskuler, sampai dapat dibuktikan lebih lanjut. Pemeriksaan serologis umumnya menunjukkan reaktif.
Neurosifilis
Pada perjalanan penyakit neurosifilis dapat asimtomatik dan sangat jarang terjadi dalam bentuk murni.Pada semua jenis neurosifilis terjadi perubahan berupa endarteritis obliterans pada ujung pembuluh darah disertai degenerasi parenkimatosa yang mungkin sudah atau belum menunjukkan gejala pada saat pemeriksaan
Neurosifilis dibagi menjadi empat macam:
Ø  Neurosifilis asimtomatik.
Ø  Sifilis meningovaskular (sifilis serebrospinalis), misalnya meningitis, meningomielitis, endarteritis sifilitika.
Ø  Sifilis parenkim: tabes dorsalis dan demensia paralitika.
Ø  Guma.

1.      Neurosifilis asimtomatik
Diagnosis berdasarkan kelainan pada likuor serebrospinalis. Kelainan tersebut belum cukup memberi gejala klinis.
2.      Sifilis meningovaskular.
Terjadi inflamasi vaskular dan perivaskular. Pembuluh darah di otak dan medula spinalis mengalami endarteritis proliferatif dan infiltrasi perivaskular berupa limfosit, sel plasma, dan fibroblas.
Pembentukan jaringan fibrotik menyebabkan terjadinya fibrosis sehingga perdarahannya berkurang akibat mengecilnya lumen. Selain itu jugs dapat terjadi trombosis akibat nekrosis jaringan karena terbentuknya gums kecil multipel.
Bentuk ini terjadi beberapa bulan hingga lima tahun sejak S I. Gejalanya bermacam-macam bergantung pada letak lesi. Gejala yang sering terdapat ialah: nyeri kepala, konvulsi fokal atau umum, papil nervus optikus sembab, gangguan mental, gejala-gejala meningitis basalis dengan kelumpuhan saraf-saraf otak, atrofi nervus optikus, gangguan hipotalamus, gangguan piramidal, gangguan miksi dan defekasi, stupor, atau koma. Bentuk yang sering dijumpai ialah endarteritis sifilitika dengan hemiparesis karena penyumbatan arteri otak.

3.      Sifilis parenkim
Termasuk golongan ini ialah tabes dorsalis dan demensia paralitika.
 Tabes dorsalis
Timbulnya antara delapan sampai dua betas tahun setelah infeksi pertama. Kira-kira seperempat kasus neurosifilis berupa tabes dorsalis. Kerusakan terutama pada radiks posterior dan funikulus dorsalis daerah torako-lumbalis. Selain itu beberapa saraf otak dapat terkena, misalnya nervus optikus, nervus trigeminus, dan nervus oktavus. Gejala klinis di antaranya ialah gangguan sensibilitas berupa ataksia, arefleksia, gangguan virus, gangguan rasa nyeri pada kulit, dan jaringan dalam. Gejala lain ialah retensi dan inkontinensia urin. Gejala tersebut terjadi berangsur- angsur terutama akibat demielinisasi dan degenerasi funikulus dorsalis.
Demensia paralitika
Penyakit ini biasanya timbul delapan sampai sepuluh tahun sejak infeksi primer, umumnya pada umur antara tiga puluh sampai lima puluh tahun. Sejumlah 10-15% dari seluruh kasus neurosifilis berupa demensia paralitika.
Prosesnya ialah meningoensefalitis yang terutama mengenai otak, ganglia basal, dan daerah sekitarventrikel ketiga. Lambat laun terjadi atrofi pada korteks dan substansi albs sehingga korteks menipis dan terjadi hidrosefalus.
Gejala klinis yang utama ialah demensia yang terjadi berangsur-angsur dan progresif. Mula-mula terjadi kemunduran intelektual, kemudian kehilangan dekorum, bersikap apatis, euforia, waham megaloman, dan dapat terjadi depresif atau maniakal.
Gejala lain di antaranya ialah disartria, kejang-kejang umum atau fokal, muka topeng, dan tremor terutama otot-otot muka. Lambat laun terjadi kelemahan, ataksia, gejala-gejala piramidal, inkontinensia urin, dan akhirnya meninggal.

4.      Guma
Umumnya terdapat pada meninges, rupanya terjadi akibat perluasan pada tulang tengkorak. Jika membesar akan menyerang dan menekan parenkim otak. Guma dapat solitar atau multipel pada verteks atau dasar otak.
Keluhannya nyeri kepala, mual, muntah, dan dapat terjadi konvulsi dan gangguan visus. Gejalanya berupa udema papil akibat peninggian tekanan intrakranial, paralisis nervus kranial, atau hemiplegia.

Sifilis kongenital
Sifilis kongenital pada bayi terjadi, jika ibunya terkena sifilis, terutama sifilis dini sebab banyak T. pallidum beredar dalam darah. treponema masuk secara hematogen ke janin melalui plasenta yang sudah dapat terjadi pada saat mass kehamilan 10 minggu.
Sifilis yang mengenai wanita hamil gejalanya ringan. Pada tahun I setelah infeksi yang tidak diobati terdapat kemungkinan penularan sampai 90%. Jika ibu menderita sifilis laten dini, kemungkinan bayi sakit 80%, bila sifilis lanjut 30 %.
Pada kehamilan yang berulang, infeksi janin pada kehamilan yang kemudian menjadi berkurang. Misalnya pada hamil pertama akan terjadi abortus pada bulan kelima, berikutnya lahir mati pada bulan kedelapan, berikutnya janin dengan sifilis kongenital yang akan meninggal dalam beberapa minggu, diikuti oleh dua sampai tiga bayi yang hidup dengan sifilis kongenital. Akhirnya akan lahir seorang atau lebih bayi yang sehat. Keadaan ini disebut hukum Kossowitz.
Pemeriksaan dengan mikroskop elektron tidak terlihat adanya atrofi lengkap. Hal yang demikian saat ini tidak dianut lagi sebab ternyata infeksi bayi dalam kandungan dapat terjadi pada saat 10 minggu masa kehamilan. Setiap infeksi sebelum 20 minggu kehamilan tidak akan merangsang mekanisme imunitas, sebab sistem imun bayi yang dikandung belum berkembang dan tidak tampak kelainan histologi reaksi bayi terhadap infeksi. Gambaran klinis dapat dibagi menjadi sifilis kongenital dini (prekoks), sifilis kongenital lanjut (tarda), dan stigmata.2,3 Batas antara dini dan lanjut ialah dua tahun. Yang dini bersifat menular, jadi menyerupai S 11, sedangkan yang lanjut berbentuk gums dan tidak menular. Stigmata berarti jaringan parut atau deformitas akibat penyembuhan kedua stadium tersebut.

· Sifilis kongenital dini
Kelainan kulit yang pertama kali terlihat pada waktu lahir ialah bula bergerombol, simetris pada telapak tangan dan kaki, kadang-kadang pada tempat lain di badan. Cairan bula mengandung banyak T.pallidum. Bayi tampak sakit. Bentuk ini adakalanya disebut pemfigus sifilitika.
     Kelainan lain biasanya timbul pada waktu bayi berumur beberapa minggu dan mirip erupsi pada S II, pada umumnya berbentuk papul atau papulo-skuamosa yang simetris dan generalisata. Dapat tersusun teratur, misalnya anular. Pada tempat yang lembab papul dapat mengalami erosi seperti kondilomata lata. Ragades merupakan kelainan umum yang terdapat pada sudut mulut, lubang hidung, dan anus; bentuknya memancar (radiating).
Wajah bayi berubah seperti orang tua akibat turunnya berat badan sehingga kulit berkeriput. Alopesia dapat terjadi pula, terutama pada sisi dan belakang kepala Kuku dapat terlepas akibat papul di bawahnya; disebut onikia sifilitika. Jika tumbuh kuku yang baru akan kabur dan bentuknya berubah.
Pada selaput lendir mulut dan tenggorok dapat terlihat plaques muqueuses seperti pada S II. Kelainan semacam itu sering terdapat pada daerah mukoperiosteum dalam kavum nasi yang menyebabkan timbulnya rinitis dan disebut syphilitic snuffles. Kelainan tersebut disertai sekret yang mukopurulen atau seropurulen yang sangat menular dan menyebabkan sumbatan. Pernapasan dengan hidung sukar. Jika plaques muqueuses terdapat pada laring suara menjadi parau. Kelenjar getah bening dapat membesar, generalisata, tetapi tidak sejelas pada S 11.

Hepardan lien membesar akibat invavasi T. pallidum sehingga terjadi fibrosis yang difus. Dapat terjadi udema dan sedikit ikterik (fungsi hepar terganggu). Ginjal dapat diserang, pada urin dapat terbentuk albumin, hialin, dangr anular cast. Pada umumnya kelainan ginjal ringan. Padaparu kadang-kadang terdapat infiltrasi yang disebut "pneumonia putih".
Tulang sering diserang pada waktu bayi berumur beberapa minggu. Osteokondritis pada tulang panjang umumnyaterjadi sebelum berumur enam bulan dan memberi gambaran khas pada waktu pemeriksaan dengan sinar-X. Ujung tulang terasa nyeri dan bengkak sehingga tidak dapat digerakkan; seolah-olah terjadi paralisis dan disebut pseudo paralisis Parrot. Kadang-kadang terjadi komplikasi berupa terlepasnya epifisis, fraktur patologik, dan artritis supurativa. Pada pemeriksaan dengan sinar-X terjadi gambaran yang khas. Tanda osteokondritis menghilang setelah dua belas bulan, tetapi periostitis menetap. Koroiditis dan uveitis jarang. Umumnya terdapat anemia berat sehingga rentan terhadap infeksi.






                                                Sifilis konggenital pada bayi

Nurosifilis aktif terdapat kira-kira 10%. Akibat invasi T. pallidum pada otak waktu intrauterin menyebabkan perkembangan otak terhenti. Bentuk neurosifilis meningovaskular yang lebih umum pada bayi muds menyebabkan konvulsi dan defisiensi mental. Gangguan nervus II terjadi sekunder akibat korioditis atau akibat meningitis karena guma. Destruksi serabut traktus piramidalis akan menyebabkan hemiplegia/ diplegia. Demikian pula dapat terjadi meningitis sifilitika akuta.

·         Sifilis kongenital lanjut
Umumnya terjadi antara umur tujuh sampai lima belas tahun.Guma dapat menyerang kulit, tulang, selaput lendir, dan organ dalam. Yang khas ialah guma pada hidung dan mulut. Jika terjadi kerusakan di septum nasi akan terjadi perforasi, bila meluas terjadi destruksi seluruhnya hingga hidung mengalami kolaps dengan deformitas. Guma pada palatum mole dan durum jugs sering terjadi sehingga menyebabkan perforasi pada palatum.
Periostitis sifilitika pada tibia umumnya mengenai sepertiga tengah tulang dan menyebabkan penebalan yang disebut sabre tibia. Osteoperiostitis setempat pada tengkorak berupa tumor bulat yang disebut Parrot nodus, umumnya terjadi pada daerah frontal dan parietal.
Keratitis interstisial merupakan gejala yang paling umum, biasanya terjadi antara umur tiga sampai tiga puluh tahun, insidensnya 25% dari penderita dengan sifilis kongenital dan dapat menyebabkan kebutaan. Akibat diserangnya nervus VIII terjadi ketulian yang biasanya bilateral.
Pada kedua sendi lutut dapat terjadi pembengkakan yang nyeri disertai efusi dan disebut Glutton's joints. Kelainan tersebut terjadi biasanya antara umur sepuluh sampai dua puluh tahun, bersifat kronik. Efusi akan menghilang tanpa meninggalkan kerusakan.
Neurosifilis berbentuk paralisis generalisata atau tabes dorsalis.
Neurosifilis meningovaskular jarang, dapat menyebabkan palsi nervus kranial, hemianopia, hemiplegia, atau monoplegia. Paralisis generalisata juvenilia biasanya terjadi antara umur sepuluh sampai tujuh betas tahun. Taber juvenilia umumnya terjadi kemudian dan belum bermanifestasi hingga dewasa muds. Aortitis sangat jarang terjadi.
·         Sigtimata
Lesi sifilis kongenital dini dan lanjut dapat sembuh Berta meninggalkan parut dan kelainan yang khas. Parut dan kelainan demikian merupakan stigmata sifilis kongenita, akan tetapi hanya sebagian penderita yang menunjukkan gambaran tersebut.
1.      Stigmata lesi dini.
a.       Gambaran muka yang menunjukkans addlenose.
b.      Gigi menunjukkan gambaran gigi insisor Hutchinson dan gigi Mullberry
c.       Ragades
d.      Atrofi dan kelainan akibat peradangan
e.       Koroidoretinitis, membentuk daerah parut putih dikelilingi pigmentasi pada retina.
2.      Stigmata dan lesi lanjut.
a.       Lesi pada kornea: kekaburan kornea sebagai akibat ghost vessels
b.      Lesi tulang: sabre tibia, akibat osteoeriostitis
c.       Atrofi optik, tersendiri tanpa iridoplegia
d.      Ketulian syaraf

E.Tanda dan gejala
Gejala Klinis
Masa inkubasi  antara 10-90 hari, dngan gejala:
Tahap 1
9-90 hari setelah terinfeksi. Timbul: luka kecil, bundar dan tidak sakit chancre- tepatnya pada kulit yang terpapar/kontak langsung dengan penderita. Chancre tempat masuknya penyakit hampir selalu munci di dalam dan sekitar genetalia, anus bahkan mulut. Pada kasus yang tidak dibobati (sampai tahai 1 berakhir), setelah beberapa minggu, chancre akan menghilang tapi bakteri tetap berada di tubuh penderita.
Tahap 2
1-2 bulan kemudian, muncul gejala lain: sakit tenggorokan, sakit pada bagian dalam mulut, nyeri otot, dmam, lesu, rambut rontok dan terdapat bintil. Beberapa bulan kemudian akan menghilang. Sejumlah orang tidak mengalami gejala lanjutan.
Tahap 3
Dikenal sebagai tahap akhir sifilis. Pada fase ini chancre telah menimbulkan kerusakan fatal dalam tubuh penderita. Dalam stase ini akan muncul gejala: kebutaan, tuli, borok pada kulit, penyakit jantung, kerusakan hati, lumpuh dan gila. Tahap letal.

F.Pemeriksaan penunjang
Untuk menegakkan diagnosis sifilis, diagnosis klinis harus dikonfirmasikan dengan pemeriksaan laboratorium berupa:
1.      a  pemeriksaan lapangan gelap (dark field).
Ream sifilis primer, dibersihkan dengan larutan NaCl fisiologis. Serum diperoleh dari bagian dasar/dalam lesi dengan cara menekan lesi sehingga serum akan keluar. Diperiksa dengan mikroskop lapangan gelap menggunakan minyak imersi.T pall berbentuk ramping, gerakan lambat, dan angulasi. Harus hati-hati membedakannya denganTreponema lain yang ada di daerah genitalia. Karena di dalam mulut banyak dijumpaiTreponema komensal, maka bahan pemeriksaan dari rongga mulut tidak dapat digunakan.

b.      Mikroskop fluoresensi
Bahan apusan dari lesi dioleskan pada gelas objek, difiksasi dengan aseton, sediaan diberi antibodi spesifik yang dilabel fluorescein, kemudian diperiksa dengan mikroskop fluoresensi. Penelitian lain melaporkan bahwa pemeriksaan ini dapat memberi hasil nonspesifik dan kurang dapat dipercaya dibandingkan pemeriksaan lapangan gelap.
2.      Penentuan antibodi di dalam serum.
Pada waktu terjadi infeksiTreponema, baik yang menyebabkan sifilis, frambusia, atau pinta, akan dihasilkan berbagai variasi antibodi. Beberapa tes yang dikenal sehari-hari yang mendeteksi antibodi nonspesifik, akan tetapi dapat menunjukkan reaksi dengan IgM dan juga IgG, ialah :
a.       Tes yang menentukan antibodi nonspesifik.
b.      Tes Wasserman 
c.       Tes Kahn  
d.      Tes VDRL (Venereal Diseases Research Laboratory)

·         Kualitatif - Tandai slide vdrl lubang 1(test) dan lubang 2 ( kontrol)- Pada lubang 1masukkan 50ul serum dan 18 ul antigen- Pada lubang 2masukkan NaCl fisiologis 50 ul dan 18 ul antigen- Masukkan dalam rotator kec 180 rpm selama 5 menit- Lihat mikroskop perbesaran 00x Hasil – jika berbentuk batang menyebar rata seluruh lapangan pandang Hasil + jika terdapat flokulasi.
·         Kuantitatif
- Isi lubang 1-5 dengan 50 ul NaCl
- Masukkan 50 ul serum kelubang 1 dan encerkan kelubang lubang berikutnya
- Lubang 1=1/2 x  Lubang 2=1/4 x Lubang 3=1/8 x Lub1ng 4=1/16 xLubang 5=1/32 x Lubang 6=sebagai pembuangan yang digunakan untuk pengenceran kembali apabila pengenceran 1/32 x masih menyatakan hasil + (terjadi flokulasi) Masukkan 18 ul antigen kedalam masing masing lubang kecuali lubang 6. Masukkan dalam rotator dengan kec 180 selama 5 menit Lihat mikroskop perbesaran 100x Jika hasil kualitatif maka titer nya adalah 1:1 Jika haisl kuantitatif pada pengenceran 1/16 x tidak terjadi flokulasi maka titer tertinggi adalah 1/16.
Interpretasi
a.       Kualitatif
Hasil non reaktif : tidak ada infeksi, masih dalam masa inkubasi atau telah mendapat pengobatan yang efektif.
Jika terjadi flokulasi :
• Gumpalan besar dan medium - reaktif
• Gumpalan kecil - reaktif lemah
b.       Kuantitatif
Laporan hasil pengamatan dengan pengenceran tertinggi yang masih memberikan hasil reaktif + dalam bentuk titer ½, ¼, 1/8, 1/16, 1/32 dan seterusnya.  Hasil reaktif : sedang terinfeksi atau pernah terinfeksi sifilis atau positif semu.
Tes RPR (Rapid Plasma Reagin)
Tes Automated reagin
c.       Antibodi terhadap kelompok antigen yaitu tes RPCF (Reiter Protein Complement Fixation).
d.      Yang menentukan antibodi spesifik yaitu:
Tes TPI (Treponema Pallidum Immobilization)
Tes FTA-ABS (Fluorescent Treponema Absorbed).
Tes TPHA (Treponema Pallidum Haemagglutination Assay)
Interpretasi
Hasil reaktif : sedang terinfeksi, pernah infeksi reaksi positif semu.
Hasil non reaktif : tidak pernah terinfeksi atau pada masa inkubasi (belum
terbentuk antibodi)
Tes Elisa (Enzyme linked immuno sorbent assay)
Sinar Rontgen dipakai untuk melihat kelainan khas pada tulang, yang dapat terjadi pada S II, S Ill, dan sifilis kongenital. Juga pada sifilis kardiovaskular, misalnya untuk melihat aneurisms aorta.
Pada neurosifilis, tes koloidal emas sudah tidak dipakai lagi karena tidak khas. Pemeriksaan jumlah set dan protein total pada likuor serebrospinalis hanya menunjukkan adanya tanda inflamasi pada susunan saraf pusat dan tidak selalu berarti terdapat neurosifilis. Harga normal ialah 0-3 sel/mm3, jika limfosit melebihi 5/mm3 berarti ada peradangan. Harga normal protein total ialah /20-40 mg/100 mm3, jika melebihi 40 mg/mm3 berarti terdapat peradangan.


I. Diagnosis banding
Diagnosis banding SI
Dasar diagnosis S I sebagai berikut. Pada anamnesis dapat diketahui mass inkubasi; gejala konstitusi tidak terdapat, demikian pula gejala setempat yaitu tidak ada rasa nyeri. Pada afek primer yang penting ialah terdapat erosi/ulkus yang bersih, solitar, bulat/lonjong, teratur, indolen dengan indurasi: T.pallidum positif. Kelainan dapat nyeri jika disertai infeksi sekunder. Kelenjar regional dapat membesar, indolen, tidak berkelompok, tidak ada periadenitis, tanpa supurasi. Tes serologik setelah beberapa minggu bereaksi positif lemah. Sebagai diagnosis banding dapat dikemukakan berbagai penyakit.
1.      Herpes simpleks
Penyakit ini residif dapat disertai rasa gataV nyeri, lesi berupa vesikel di alas kulit yang eritematosa, berkelompok. Jika telah pecah tampak kelompok erosi, sering berkonfluensi dan polisiklik, tidak terdapat indurasi.
2.      Ulkus piogenik
Akibat trauma misalnya garukan dapat terjadi infeksi piogenik. Ulkus tampak kotor karena mengandung pus, nyeri, tanpa indurasi. Jika terdapat limfadenitis regional disertai tanda-tanda radang akut dapat terjadi supurasi yang serentak, dan terdapat leukositosis pada pemeriksaan darah tepi.
3.       Skabies
Pada skabies lesi berbentuk beberapa papul atau vesikel di genitalia eksterna, terasa gatal pada malam hari. Kelainan yang sama terdapat pula pada tempat predileksi, misalnya lipat jari Langan, perianal. Orang-orang yang serumah juga akan menderita penyakit yang sama.2
4.      Balanitis
Pada balanitis, kelainan berupa erosi superficial pada glans penis disertai eritema, tanpa indurasi. Faktor predisposisi: diabetes melitus dan yang tidak disirkumsisi.
5.      Limfogranuloma venereum (L.G.V.)
Afek primer pada L.G.V. tidak khas, dapat berupa papul, vesikel, pustul, ulkus, dan biasanya cepat hilang. Yang khas ialah limfadenitis regional, disertai tanda-tanda radang akut, supurasi tidak serentak, terdapat periadenitis. L.G.V. disertai gejala konstitusi: demam, malese, dan artralgia.
6.      Karsinoma sel skuamosa
Umumnya terjadi pada orang usia lanjut yang tidak disirkumsisi. Kelainan kulit berupa benjolan-benjolan, terdapat indurasi, mudah berdarah. Untuk diagnosis, perlu biopsi.
7.      Penyakit Behcet
Ulkus superficial, multipel, biasanya pada skrotum/labia. Terdapat pula ulserasi pada mulct dan lesi pada mata.
8.      Ulkus mole
Penyakit ini kini langka. Ulkus lebih dari sate, disertai tanda-tanda radang akut, terdapat pus, dindingnya bergaung. Haemophilus Ducreyi positif. Jika terjadi limfadenitis regional juga disertai tanda-tanda radang akut, terjadi supurasi serentak.

II.Diagnosis banding S II
Dasar diagnosis S II sebagai berikut. S II timbul enam sampai delapan minggu sesudah S I. Seperti telah dijelaskan, S II ini dapat menyerupai berbagai penyakit kulit. Untuk membedakannya dengan penyakit lain ads beberapa pegangan. Pada anamnesis hendaknya ditanyakan, apakah pernah menderita luka di alai genital (S I) yang tidak nyeri.
Klinis yang penting umumnya berupa kelainan tidak gatal. Pada S II dini kelainan generalisata, hampir simetrik, telapak tangan/kaki jugs dikenai. Pada S II lambat terdapat kelainan setempatsetempat, berkelompok, dapat tersusun menurut susunan tertentu, misalnya: arsinar, polisiklik, korimbiformis. Biasanya terdapat limfadenitis generalisata. Tes serologik positif kuat pada S II dini, lebih kuat lagi pada S II lanjut.
Seperti telah diterangkan, sifilis dapat menyerupai berbagai penyakit karena itu diagnosis bandingnya sangat banyak, tetapi hanya sebagian yang akan diuraikan.
1.      Erupsi obat alergik
Pada anamnesis dapat diketahui timbulnya alergi karena obat yang dapat disertai demam. Kelainan kulit bermacam-macam, di antaranya berbentuk eritema sehingga mirip roseala pada S II. Keluhannya gatal, sedangkan pada sifilis biasanya tidak gatal.
2.      MorbiliKelainan kulit berupa eritema seperti pada S II.
Perbedannya: pada morbili disertai gejala konstitusi (tampak sakit, demam), kelenjar getah bening tidak membesar.
3.      Pitiriasis roses
Terdiri atas banyak bercak eritematosa terutama di pinggir dengan skuama halus, berbentuk lonjong, lentikular, susunannya sejajar dengan lipatan kulit. Penyakit ini tidak disertai limfadenitis generalisata seperti pada S II.


4.      Psoriasis
Persamaannya dengan S II : terdapat eritema dan skuama. Pada psoriasis tidak didapati limfadenitis generalisata; skuama berlapis-lapis serta terdapat tanda tetesan lilin danAus pitz .
5.      Dermatitis seboroika
Persamaannya dengan S II ialah terdapatnya eritema dan skuama. Perbedaannya pada dermatitis seboroik; tempat predileksinya pada tempat seboroik, skuama berminyak dan kekuning-kuningan, tidak disertai limfadenitis generalisata.

6.      Kondiloma akuminatum
Penyakit ini mirip kondiloma lata, kedua-duanya berbentuk papul. Perbedaannya: pada kondiloma akuminata biasanya permukaannya runcing-runcing, sedangkan papul pada kondiloma lata permukaannya datar serta eksudatif.
7.      Alopesia areataKebotakan setempat; penyakit ini mirip alopesia areolaris pada S II.
Perbedaannya: pada alopesia areata lebih besar (numular) dan hanya beberapa, sedangkan alopesia areolaris lebih kecil (lentikular) dan banyak serta seperti digigit ngengat.

III.Diagnosis banding S III
Kelainan kulit yang utama pada S III ialah guma. Guma juga terdapat pada penyakit lain: tuberkulosis, frambusia, dan mikosis profunda. Tes serologik pada S III dapat negatif atau positif lemah, karena itu yang penting ialah anamnesis, apakah penderita tersangka menderita S I atau S II dan pemeriksaan histopatologik.
Mikosis dalam yang dapat menyerupai S III ialah sporotrikosis dan aktinomikosis. Perbedaannya: pada sporotrikosis berbentuk nodus yang terletak sesuai dengan perjalanan pembuluh getah bening, dan pada pembiakan akan ditemukan jamur penyebabnya. Aktinomikosis sangat jarang di Indonesia. Penyakit ini juga terdiri atas infiltrat yang melunak seperti guma S III. Lokalisasinya khas yakni di leher, dada, dan abdomen. Kelainan kulitnya berbeda, yakni terdapat fistel multipel; pada pusnya tampak butir-butir kekuningan yang disebut sulfur granules. Pada biakan akan tumbuh Actinomyces.
Tuberkulosis kutis gumosa mirip gums S III. Cara membedakannya dengan pemeriksaan histopatologik. Demikian pula frambusia stadium lanjut. Guma S III bersifat kronis dan destruktif, karena itu kelainan tersebut mirip keganasan. Cara membedakannya dengan pemeriksaan histopatologik.

 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya. Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan hasil pemerikasan laboratorium dan pemeriksaan fisik.
Pada fase primer atau sekunder, diagnosis sifilis ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis terhadap cairan dari luka di kulit atau mulut. Bisa juga digunakan pemeriksaan antibodi pada contoh darah.
Untuk neurosifilis, dilakukan pungsi lumbal guna mendapatkan contoh cairan serebrospinal. Pada fase tersier, diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksan antibodi.

G. Penatalaksanaan
Pada pengobatan jangan dilupakan agar mitra seksualnya juga diobati, dan selama belum sembuh penderita dilarang bersanggama. Pengobatan dimulai sedini mungkin, makin dini hasilnya makin balk. Pada sifilis laten terapi bermaksud mencegah proses lebih lanjut.
Pengobatannya menggunakan penisilin dan antibiotik lain.
1.      PENISILIN
Obat yang merupakan pilihan ialah penisilin. Obat tersebut dapat menembus placenta sehingga mencegah infeksi Pada janin dan dapat menyembuhkan janin yang terinfeksi; juga efektif untuk neurosifilis.
Kadar yang tinggi dalam serum tidak diperlukan, asalkan jangan kurang dari 0,03 unit/ml. Yang penting ialah kadar tersebut hares bertahan dalam serum selama sepuluh sampai empat betas hari untuk sifilis dini dan lanjut, dua puluh sate hari untuk neurosifilis dan sifilis kardiovaskular. Jika kadarnya kurang dari angka tersebut, setelah lebih dari dua puluh empat sampai tiga puluh jam, maka kuman dapat berkembang biak. Menurut lama kerjanya, terdapat tiga macam penisilin:
a. Penisilin G prokain dalamakua dengan lama kerja dua puluh empat jam, jadi bersifat kerja singkat.
b. Penisilin G prokain dalam minyak dengan aluminium monostearat (PAM), lama kerja tujuh puluh dua jam, bersifat kerja sedang.
c. Penisilin G benzatin dengan dosis 2,4 juts unit akan bertahan dalam serum dua sampai tiga minggu, jadi bersifat kerja lama.
Ketiga obat tersebut diberikan intramuskular. Derivat penisilin per oral tidak dianjurkan karena absorpsi oleh saluran cerma kurang dibandingkan dengan suntikan. Cara pemberian penisilin tersebut sesuai dengan lama kerja masing-masing; yang pertama diberikan setiap hari, yang kedua setiap tiga hari, dan yang ketiga biasanya setiap minggu.
Penisilin G benzatin karena bersifat kerja lama, make kadar obat dalam serum dapat bertahan lama dan lebih praktis, sebab penderita tidak perlu disuntik setiap hari seperti pada pemberian penisilin G prokain dalam akua. Obat ini mempunyaikekurangan, yakni tidak dianjurkan untuk neurosifilis karens sukar masuk ke dalam darah di otak, sehingga yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua. Karena penisilin G benzatin memberi rasa nyeri pada tempat suntikan, ada penyelidik yang tidak menganjurkan pemberiannya kepada bayi. Demikian pule PAM memberi rasa nyeri pada tempat suntikan dan dapat mengakibatkan abses jika suntikan kurang dalam; obat ini kini jarang digunakan.
Pada sifilis kardiovaskular terapi yang dianjurkan ialah dengan penisilin G benzatin 9,6 juta unit, diberikan 3 kali 2,4 juta unit, dengan interval seminggu. Untuk neurosifilis terapi yang dianjurkan ialah penisilin G prokain dalam akua 18-24 juta unit sehari, diberikan 3-4 juta unit, i.v. setiap 4 jam selama 10-14 hari.
Pada sifilis kongenital, terapi anjurannya ialah penisilin G prokain dalam akua 100.000150.000 satuan/kg B.B. per hari, yang diberikan 50.000 unit/kg B.B., i.m., setiap hari selama 10 hari.
Reaksi Jarish-Herxheimer
Pada terapi sifilis dengan penisilin dapat terjadi reaksi Jarish- Herxheimer.6 Sebab yang pasti tentang reaksi ini belum diketahui, mungkin disebabkan oleh hipersensitivitas akibat toksin yang dikeluarkan oleh banyak T.paffidum yang coati. Dijumpai sebanyak 50-80% pada sifilis dini. Pada sifilis dini dapat terjadi setelah enam sampai due betas jam pada suntikan penisilin yang pertama.
Gejalanya dapat bersifat umum dan lokal. Gejala umum biasanya hanya ringan berupa sedikit demam. Selain itu dapat pula berat: demam yang tinggi, nyeri kepala, artralgia, malese, berkeringat, dan kemerahan pada muka.8 Gejala lokal yakni afek primer menjadi bengkak karena edema dan infiltrasi sel, dapat agak nyeri. Reaksi biasanya akan menghilang setelah sepuluh sampai dua betas jam tanpa merugikan penderita pada S I.
Pada sifilis lanjut dapat membahayakan jiwa penderita, misalnya: edema glotis pada penderita dengan gums di laring, penyempitan arteria koronaria pada muaranya karena edema dan infiltrasi, dan trombosis serebral. Selain itu juga dapat terjadi ruptur aneurisms atau ruptur dinding aorta yang telah menipis yang disebabkan oleh terbentuknya jaringan fibrotik yang berlebihan akibat penyembuhan yang cepat.
Pengobatan reaksi Jarish-Herxheimer ialah dengan kortikosteroid, contohnya dengan prednison 20-40 mg sehari. Obat tersebut juga dapat digunakan sebagai pencegahan, misalnya pada sifilis lanjut, terutama pada gangguan aorta dan diberikan dua sampai tiga hari sebelum pemberian penisilin serta dilanjutkan dua sampai tiga hari kemudian.
2. ANTIBIOTIK LAIN
Selain penisilin, masih ada beberapa antibiotik yang dapat digunakan sebagai pengobatan sifilis, meskipun tidak seefektif penisilin.
Bagi yang alergi terhadap penisilin diberikan tetrasiklin 4 x 500 mg/hari, atau aeritromisin 4 x 500 mg/hri, atau doksisiklin 2 x 100 mg/hari. Lama pengobatan 15 hari bagi S I dan S II dan 30 hari bagi stadium laten. Eritromisin bagi yang hamil, efektivitasnya meragukan. Doksisiklin absorbsinya lebih baik daripada tetrasiklin, yakni 90-100%, sedangkan tetrasiklin hanya 60-80%.
Pada penelitian terbaru didapatkan bahwa doksisiklin atau eritromisin yang
diberikan sebagai terapi sifilis primer selama 14 hari, menunjukkan perbaikan.
Obat yang lain ialah golongan sefalosporin, misalnya sefaleksin 4 x 500 mg sehari selama 15 hari. Juga seftriakson setiap hari 2 gr, dosis tunggal i.m. atau i.v. selama 15 hari.
Azitromisin juga dapat digunakan untuk S I dan S 11, terutama dinegara yang sedang berkembang untuk menggantikan penisilin.10 Dosisnya 500 mg sehari sebagai dosis tunggal. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan Verdun dkk. Penyembuhannya mencapai 84,4%. Lama pengobatan 10 hari. Menurut laporan Verdun dkk., penyembuhannya mencapai 84,4%.

H.Penatalaksanaan Medis
·      Sifilis primer dan sekunder
1.     Penisilin benzatin G dosis 4,8 juta unit IM (2,4juta unit/kali) dan diberikan 1 x seminggu
2.     Penisilin prokain dalam aqua dengan dosis 600.000 unit injeksi IM sehari selama 10 hari.
3.     Penisilin prokain +2% alumunium monostearat, dosis total 4,8 juta unit, diberikan 2,4 juta unit/kali sebanyak dua kali seminggu.
§  Sifilis laten
1.     Penisilin benzatin G dosis total 7,2 juta unit
2.     Penisilin G prokain dalam aqua dengan dosis total 12 juta unit (600.000 unit sehari).
3.     Penisilin prokain +2% alumunium monostearat, dosis total 7,2 juta unit (diberikan 1,2 juta unit/kali, dua kali seminggu).
§  Sifilis III
1.     Penisilin benzatin G dosis total 9,6 juta unit
2.     Penisilin G prokain dalam aqua dengan dosis total 18 juta unit (600.000 unit)
3.     Penisilin prokain + 2% alumunium monostearat, dosis total 9,6 juta unit (diberikan 1,2 juta unit/kali, dua kali seminggu)
§  Untuk pasien sifilis I dan II yang alergi terhadap penisilin, dapat diberikan:
1.     Tertrasiklin 500mg/oral, 4x sehari selama 15 hari.
2.     Eritromisin 500mg/oral, 4x sehari selama 15 hari.
Untuk pasien sifilis laten lanjut (> 1 tahun) yang alergi terhadap penisilin, dapat diberikan:
1.     Tetrasiklin 500mg/oral, 4x sehari selama 30 hari
2.     Eritromisin 500mg/oral, 4x sehari selama 30 hari.
*Obat ini tidak boleh diberikan pada wanita hamil, menyusui, dan anak-anak.

I.Penatalaksanaan Keperawatan
§  Memberikan pendidikan kepada pasien dengan menjelaskan hal-hal sebagai berikut:
1)      Bahaya PMS dan komplikais
2)      Pentingnya mamatuhi pengobatan yang diberikan
3)      Cara penularan PMS dan pengobatan untuk pasangan seks tetapnya
4)      Hindari hubungan seks sebelum sembuh dan memakai kondom jika tidak dapat dihindarkan lagi.
5)      Pentingnya personal hygiene khususnya pada alat kelamin
6)                  Cara-cara menghindari PMS di masa mendatang.
Pencegahan:
· Hindari berhubungan sex dengan lebih dari satu pasangan
· Menjalani screening test bagi anda dan pasangan anda
· Hindari alkohol dan obat-obatan terlarang
· Gunakan kondom ketika berhubungan sexual
·         Sifilis tidak bisa dicegah dengan membersihkan daerah genital setelah berhubungan sexual
J.Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum
Kesadaran, status gizi, TB, BB, suhu, TD, nadi, respirasi
b. Pemeriksaan sistemik
Kepala (mata, hidung, telinga, gigi&mulut), leher (terdapat perbesaran tyroid atau tidak), tengkuk, dada (inspeksi, palpasi, perkusi, auskultasi), genitalia, ekstremitas atas dan bawah.

c.Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium (kimia darah, ureum, kreatinin, GDS, analisa urin, darah rutin)
2. Diagnosa Keperawatan & Intervensi
a. Nyeri kronis b.d adanya lesi pada jaringan
Tujuan: nyeri klien hilang dan kenyamanan terpenuhi
Kriteria:
- Nyeri klien berkurang
- Ekspresi wajah klien tidak kesakitan
- Keluhan klien berkurang
Intervensi:
- Kaji riwayat nyeri dan respon terhadap nyeri
- Kaji kebutuhan yang dapat mengurangi nyeri dan jelaskan tentang teknik mengurangi nyeri dan penyebab nyeri
- Ciptakan lingkungan yang nyaman (mengganti alat tenun)
- Kurangi stimulus yang tidak menyenangkan
- Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian analgetik
b. Hipertermi b.d proses infeksi
Tujuan: klien akan memiliki suhu tubuh normal
Kriteria:
- Suhu 36–37 °C
- Klien tidak menggigil
- Klien dapat istirahat dengan tenang
Intervensi:
- Observasi keadaan umum klien dengan tanda vital tiap 2 jam sekali
- Berikan antipiretik sesuai anjuran dokter dan monitor keefektifan 30-60 menit kemudian
- Berikan kompres di dahi dan lengan
- Anjurkan agar klien menggunakan pakaian yang tipis dan longgar
- Berikan minum yang banyak pada klien
c.Kerusakan integritas kulit b.d. substansi kimia (T. pallidum)
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan pada klien, klien memiliki integritas kulit yang baik.
Kriteria:
§  Integritas kulit yang baik bias dipertahankan (sensasi, elastic, temperature, hidrasi, pigmentasi).
§  Tidak ada luka/lesi pada kulit
§  Perfusi jaringan baik
§  Menunjukkan adanya perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cidera berulang.
§  Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban kulit dan perawatan alami.
Intervensi:
Ø  Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar.
Ø  Hindari kerutan pada tempat tidur.
Ø  Jaga kenersihan kulit agar tetap bersih dan kering.
Ø  Monitor kulit akan adanya kemerahan.
Ø  Monitor status nutrisi pasien.
Ø  Mandikan pasien dengan sabun dan air hangat.
d. Cemas b.d proses penyakit
Tujuan: cemas berkurang atau hilang
Kriteria:
- Klien merasa rileks
- Vital sign dalam keadaan normal
- Klien dapat menerima dirinya apa adanya
Intervensi:
- Kaji tingkat ketakutan dengan cara pendekatan dan bina hubungan saling percaya
- Pertahankan lingkungan yang tenang dan aman serta menjauhkan benda-benda berbahaya
- Libatkan klien dan keluarga dalam prosedur pelaksanaan dan perawatan
- Ajarkan penggunaan relaksasi
- Beritahu tentang penyakit klien dan tindakan yang akan dilakukan secara sederhana.








BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sifilis merupakan infeksi kronik menular yang disebabkan oleh bakteri troponema pallidum, menginfeksi dan masuk ke tubuh penderita kemudian merusaknya.
Pengobatan sifilis efektif diberikan antibiotik penicilin.
B. Saran
Bagi ibu hamil diharapkan untuk melakukan pemeriksaan Antenatal minimal 4 x selama kehamilan agar dapat mendeteksi dini komplikasi.





DAFTAR PUSTAKA
Prawirohardjo, Sarwono. 2007. Ilmu Kebidanan. Jakarta: YBPS
     1999. Ilmu Kebidanan. Jakarta:YBPS
Sastrawinata, R. Suleman. 1981. Obstetri Patologi Bagian Obstetri dan Ginekologi. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar